Lurik adalah salah satu wastra tradisional khas Indonesia. Wastra ini dibuat dengan teknik tenun dari kapas pintal tangan, menggunakan sebuah alat bernama gedogan.
"Bentuk motif lurik bisa beragam tapi bisa juga hanya sekadar garis, misalkan untuk digunakan pada upacara mitoni (upacara tujuh bulan kehamilan) supaya sang ibu lancar. Ini bentuk dari motif garis pada luriknya," papar Judi.
"Bentuk motif lurik bisa beragam tapi bisa juga hanya sekadar garis, misalkan untuk digunakan pada upacara mitoni (upacara tujuh bulan kehamilan) supaya sang ibu lancar. Ini bentuk dari motif garis pada luriknya," papar Judi.
Beberapa makna dari lurik yang ada pun mengalami bias, terutama dari kisah di balik lurik yang dibuat. Menurut Judi, hal ini karena lurik putusnya infoarmasi. Dengan kata lain, sebuah motif lurik dibuat oleh seorang tetua yang memiliki pengetahuan tertentu dan tidak mewariskannya kepada orang lain karena takut akan terjadi sesuatu
Meski terjadi bias makna, lurik ternyata adalah kain dengan fungsi yang luas dan dipakai oleh berbagai usia juga kasta. Lurik kerap kali muncul bukan hanya dalam kegiatan sehari-hari atau rumah tangga, tetapi bahkan muncul dalam upacara kekeratonan Jawa.
"Lurik yang muncul di upacara keraton itu justru simbol bahwa keraton ini pada awalnya berasal dari rakyat. Namun penggunaan lurik oleh keraton mengangkat citra lurik dari kain rakyat biasa," kata Soedarmadji.
Soedarmadji mencontohkan budaya kirab yang biasa terjadi dalam masyarakat Jawa. Kirab kini diidentikkan dengan kegiatan keraton, padahal menurut Soedarmadji, kirab juga dilakukan oleh masyarakat biasa dan memang berasal dari tradisi rakyat jelata.
"Dahulu pakaian keraton baik di luar ataupun di dalam, menggunakan lurik. Namun baru setelah Perang Dunia II terjadi pembedaan," kata Soedarmadji.
"Namun perbedaan ini hanya dari bahan dan tambahan aksesori, misal lurik milik keraton dari sutra dan ada tambahan emas, sementara yang rakyat biasa tidak ada tambahan itu. Budaya Jawa itu pada dasarnya sama saja, cuma sekarang saja ada yang bersifat kerajaan. Ini hanya bentuk dari perkembangan," papar Soedarmadji.
Hingga saat ini, lurik masih terus ditelusuri sejarahnya. Namun Soedarmadji menyatakan bahwa keberadaan lurik di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat sudah lebih lama dibandingkan batik yang selama ini dianggap sebagai pakaian khas Jawa dan punya kekhasan dalam setiap upacara, motif, hingga kasta tertentu.
"Batik yang paling tua yang diketahui dimiliki oleh keluarga Raffles dari Inggris, batik itu diperkirakan dari abad ke-16 atau 17. Sedangkan lurik, tidak diketahui tapi yang jelas lebih tua lagi," kata pengamat wastra senior Soedarmadji Damais.
Tidak hanya itu, lurik termasuk wastra Indonesia yang sangat tua. Penggunaan kain lurik sudah tercatat sejak abad ke-9 dengan bukti prasasti dari zaman Hindu Mataram. Prasasti ini menunjukkan adanya kain lurik pakan malang. Selain itu, prasasti Erlangga dari 1033 M menyebut tuluh wantu, salah satu jenis lurik.
Dalam 88 koleksi lurik yang tersaji di Museum Tekstil, semuanya adalah sumbangan dari peneliti lurik Nian S Djoemena, yang tutup usia pada Juni 2014 silam. Melalui keluarganya, Nian menyumbangkan 88 koleksi lurik terbaiknya kepada negara untuk dirawat dan menjadi pembelajaran generasi selanjutnya.
Meski menurut Judi makna dari lurik sangatlah subjektif, namun Nian mengartikan setidaknya 88 makna dari koleksi lurik yang kini dikelola Museum Tekstil.
Misalnya kain lurik Liwatan asal Jawa Tengah yang terbuat dari katun memiliki kombinasi warna dari beberapa benang seperti ungu, hijau, putih, serta biru gelap. Kain ini memiliki digunakan sebagai selendang atau kemben liwatan pada upacara tingkeban dengan harapan agar ibu dan anak terhindar dari bahaya dan penyakit.
Ada juga lurik Kumbokarno yang memiliki kombinasi merah, biru gelap, biru terang, abu-abu, serta putih. Kain ini dibuat berdasarkan tokoh dalam kisah pewayangan yaitu Kumbokarno, dengan makna agar laki-laki yang mengenakan kain ini berjiwa satria, pembela kebenaran, berani, tegas, dan kuat.
Meski memiliki banyak makna dan peruntukan, namun menurut Judi ada kriteria khusus yang hanya berlaku bagi lurik untuk kegiatan upacara.
"Menurut saya lurik yang dipakai dalam upacara mesti terbuat dari katun, dan dibuat dengan gedogan. Bukan dari bahan sintetik dan dengan mesin," katanya. "Karena kain yang bergaris belum tentu lurik." dari cnnindonesia ya bro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar